Ketika aku berjalan sendiri, aku merasa menjadi “seseorang”.
Merasa bebas, namun tidak sebebas jalan pikirku. Lakon yang selalu dituruti
sehari-hari, seolah-olah sudah menjadi sebuah narasi dalam kehidupan. Takdir katanya
telah tercipta, namun kita yang memilih. Lalu lakon ini apalah artinya? Hanya sebuah
manuskrip yang telah direncanakan juga? Atau kita memang selalu menikmatin
dalam bayang-bayang Tuhan?
Tidak perlulah
kamu mendalaminya untuk mengerti "apa aku". Aku bukan manuskrip
naskah kuno yang harus kamu terjemahkan tiap lakonku. Begini saja. Sangat
simpel. Aku adalah satu titik. Ya, titik. Pertanda satu akhir. Tidak perlulah
kau usik setiap lakonku yang mencengangkanmu. Yang terus memberimu bayang
kebingungan, yang senantiasa jadi anomali di ceritamu, dan yang tetap jadi
pengisi satu sekat di otakmu.
Akulah sang titik. Yang padaku kau hentikan kalimatmu. Tempat kau cukupkan pencarian dan pemilihan katamu. Kau harus tenang. Aku bukan sebuah bayang. Aku nyata. Bahkan dalam mimpimu yang paling delusional pun. Aku, nyata. Jadi, tak usahlah kau sibuk mengusik otakmu. Mencari-cari pembenaran akan teorimu tentang aku. Tak perlu itu semua. Yang cukup kau lakukan, hanya menunggu, dan menikmati semua detik dan harimu. Ya, cukup kau nikmati saja. Semua akan ada. Karena semua nyata.
Akulah sang titik. Yang padaku kau hentikan kalimatmu. Tempat kau cukupkan pencarian dan pemilihan katamu. Kau harus tenang. Aku bukan sebuah bayang. Aku nyata. Bahkan dalam mimpimu yang paling delusional pun. Aku, nyata. Jadi, tak usahlah kau sibuk mengusik otakmu. Mencari-cari pembenaran akan teorimu tentang aku. Tak perlu itu semua. Yang cukup kau lakukan, hanya menunggu, dan menikmati semua detik dan harimu. Ya, cukup kau nikmati saja. Semua akan ada. Karena semua nyata.
Bukan begitu, kamu yang ada
di masa depanku?
Aku tidak akan kemana-mana. Duniaku ada di kamu. Di semua sekat dan organ di ragamu. Aku ada, dan akan terus ada. Nyata. Aku ada.
No comments:
Post a Comment