+ -

Sunday, October 20, 2013

Yang Udik dan Yang Pulang


(sedikit catatan lama)

Kepulangan kali ini bagi saya adalah kepulangan yang istimewa. Kepulangan kali ini adalah kepulangan kali pertama saya begitu menginginkannya. Tiap harinya saya melihat kalender dan menghitung-hitung kiranya berapa hari lagi saya bisa menginjakkan kaki di rumah yang saya rindu. Ibarat seorang anak nakal yang sedang minggat, kemudian tiba-tiba ia didera kerinduan yang dahsyat. Kerinduan akan omelan orang tua, akan makanan yang itu-itu saja, akan bau dapur yang menyengat, akan perintah dan larangan yang harus dipatuhinya.
Orang bilang mudik berarti kembali ke udik. Yang secara etimologi seharusnya berarti kembali ke ruang orang-orang udik. Kembali ke ruang dimana keudikan adalah sebuah jamak yang umum. Mungkin memang benar. Udik, diasosiasikan dengan keadaan seorang yang bersifat kampung, jika memakai standar kota. Namun jika memakai standar desa, mereka yang meng-udik adalah mereka yang kampung. Namun apakah itu sifat yang kampung? Kembali jika kita menggunakan standar kota, maka ia berarti sebuah sifat yang polos, yang belum tersentuh hal-hal kotor. Mungkin memang benar demikian. Namun, dalam standar desa, sifat kampung adalah sifat yang kota, yaitu sifat yang sudah terkotori. Yang tiada hal baik yang dibawanya. Sedikit banyak saya setuju dengan kedua standar tersebut. Saya besar dan tumbuh di desa (walaupun sekarang kota), dan sekarang saya sedang menempuh pendidikan di kota. Maka, sejatinya saya tetap udik tanpa harus mudik. Sifat udik, jika diambil jalan tengah dari kedua standar tersebut adalah sifat baik dan buruk seseorang. Entah ia dari desa atau kota. Sama saja. Tiada beda barang sehelai. Sama-sama memiliki baik dan buruk.
Desa maupun kota sama saja, sama-sama produk budaya manusia. Ketika manusia pertama kali menyadari insting sosialnya, mereka mulai berkumpul. Kemudian setelah berkumpul mereka mulai menetap. Desa mapun kota, sama saja, sama-sama  tempat menetap. Keduanya sama-sama memiliki fungsi sebagai tempat bernaung. Kalau begitu untuk apa sebenarnya seseorang mudik? Desa dan kota memang berfungsi sebagai tempat menetap, namun para penetap tersebut juga memiliki sebuah daya butuh untuk berkunjung. Dalam rangka apa? Dalam rangka perayaan akan hidup. Manusia hidup, adalah manusia yang sekedar mampir dan berkunjung. Sebuah pepatah jawa berujar urip iki mung mampir ngombe. Hidup hanyalah persinggahan untuk minum. Untuk bertamu. Untuk berkunjung. Jika demikian, apa yang dihampiri dan dikunjungi para pemudik? Kenangan. Pemudik mengunjungi rekam dirinya semasa kanak-kanak, semasa remaja, semasa wajah orang tuanya lebih muda, semasa rumahnya masih sederhana, semasa dirinya masih mengenakan celana pendek, kaos kusam, dan telanjang kaki bermain bola sepak di halaman tanah yang kosong, serta mungkin saudara dan teman yang wajahnya menjadi lebih muda daripada di foto profilnya di sekian banyak media sosial. Kemanapun mereka berkunjung dan mampir, mereka mengunjungi sebuah rekam kenangan atapun mencipta rekam kenangan yang baru.
Di desa mapun di kota. Tradisi berkunjung adalah hal yang biasa. Bukan hal yang aneh jika seorang teman mengunjungi saya, atau mungkin saya berkunjung ke rumah anda. Dimanapun tempat saya, baik di desa mapun di kota. Maka, kemanapun seseorang berkunjung, ia sedang mudik dan meng-udik. Ia sedang mengunjungi sifat baik-buruk dirinya dan yang dikunjunginya.   
Lebaran, adalah sebuah perayaan yang merayakan ke-udikan manusia. Merayakan keberadaan tak-sempurnanya manusia. Fitrah, bagi saya bukanlah kekosongan, bukanlah kondisi suci seperti yang diiklankan banyak produk makanan dan kosmetik, namun dua ruang yang sedari awal sudah memiliki nama: “baik” dan “buruk”. Suci adalah ke-udikan itu sendiri. Suci bukanlah hanya bersih, ia juga kotor. Karena ketika mengasosiasikan kata “suci” dengan “manusia” maka selayaknyalah dua hal yang berlawanan tersebut sebagai interpretasi maknanya. Kembali ke udik atau ke fitrah adalah sebuah usaha kontemplasi untuk mengakui diri bukanlah sebuah cipta tuhan yang sempurna. Untuk mengakui kelemahan yang selama ini ditutupi dengan sekian macam bentuk kelebihan. Untuk mengakui kelemahan tersebut dibutuhkan usaha yang tak jarang harus betaruh nyawa. Jika anda tidak percaya, silahkan hitung jumlah pemudik yang meninggal dalam perjalanan mudiknya. Kontemplasi atau perenungan diri adalah usaha yang memakan biaya yang mahal, termasuk nyawa di dalamya.
Maka, mudik adalah sebuah usaha menuju pemahaman akan ke-udikan seseorang. Manusia melakukan sekian perjalan dalam hidupnya hanya untuk memahami dirinya sendiri. Untuk menemukan tujuan dari keberadaanya. Mudik, adalah tanggung jawab bersama untuk bisa memahami sesama.

Baru satu minggu ini saya berada di rumah. Orang tua saya masih tetap sering mengomel, kaka saya masih tetap cerewet, teman-teman saya sudah banyak yang menikah, dan seorang teman saya masih saja sering meminjam uang ke teman-teman dekatnya sewaktu kecil
Mau mudik tidak mudik, toh kita tetap meng-udik. Jadi, apa yang harus diributkan?
5 MIRZARIFKI'S: Yang Udik dan Yang Pulang (sedikit catatan lama) Kepulangan kali ini bagi saya adalah kepulangan yang istimewa. Kepulangan kali ini adalah kepulangan kali perta...

No comments:

Post a Comment

< >