(sedikit catatan lama)
Kepulangan kali ini bagi saya adalah kepulangan yang istimewa. Kepulangan kali ini adalah kepulangan kali pertama saya begitu menginginkannya. Tiap harinya saya melihat kalender dan menghitung-hitung kiranya berapa hari lagi saya bisa menginjakkan kaki di rumah yang saya rindu. Ibarat seorang anak nakal yang sedang minggat, kemudian tiba-tiba ia didera kerinduan yang dahsyat. Kerinduan akan omelan orang tua, akan makanan yang itu-itu saja, akan bau dapur yang menyengat, akan perintah dan larangan yang harus dipatuhinya.
Kepulangan kali ini bagi saya adalah kepulangan yang istimewa. Kepulangan kali ini adalah kepulangan kali pertama saya begitu menginginkannya. Tiap harinya saya melihat kalender dan menghitung-hitung kiranya berapa hari lagi saya bisa menginjakkan kaki di rumah yang saya rindu. Ibarat seorang anak nakal yang sedang minggat, kemudian tiba-tiba ia didera kerinduan yang dahsyat. Kerinduan akan omelan orang tua, akan makanan yang itu-itu saja, akan bau dapur yang menyengat, akan perintah dan larangan yang harus dipatuhinya.
Orang bilang mudik berarti kembali ke udik. Yang
secara etimologi seharusnya berarti kembali ke ruang orang-orang udik. Kembali
ke ruang dimana keudikan adalah sebuah jamak yang umum. Mungkin memang benar.
Udik, diasosiasikan dengan keadaan seorang yang bersifat kampung, jika memakai
standar kota. Namun jika memakai standar desa, mereka yang meng-udik adalah
mereka yang kampung. Namun apakah itu sifat yang kampung? Kembali jika kita
menggunakan standar kota, maka ia berarti sebuah sifat yang polos, yang belum
tersentuh hal-hal kotor. Mungkin memang benar demikian. Namun, dalam standar
desa, sifat kampung adalah sifat yang kota, yaitu sifat yang sudah terkotori.
Yang tiada hal baik yang dibawanya. Sedikit banyak saya setuju dengan kedua
standar tersebut. Saya besar dan tumbuh di desa (walaupun sekarang kota), dan sekarang saya sedang
menempuh pendidikan di kota. Maka, sejatinya saya tetap udik tanpa harus mudik.
Sifat udik, jika diambil jalan tengah dari kedua standar tersebut adalah sifat
baik dan buruk seseorang. Entah ia dari desa atau kota. Sama saja. Tiada beda
barang sehelai. Sama-sama memiliki baik dan buruk.
Desa maupun kota sama saja, sama-sama produk budaya
manusia. Ketika manusia pertama kali menyadari insting sosialnya, mereka mulai
berkumpul. Kemudian setelah berkumpul mereka mulai menetap. Desa mapun kota,
sama saja, sama-sama tempat menetap. Keduanya sama-sama memiliki fungsi
sebagai tempat bernaung. Kalau begitu untuk apa sebenarnya seseorang mudik?
Desa dan kota memang berfungsi sebagai tempat menetap, namun para penetap
tersebut juga memiliki sebuah daya butuh untuk berkunjung. Dalam rangka apa?
Dalam rangka perayaan akan hidup. Manusia hidup, adalah manusia yang sekedar
mampir dan berkunjung. Sebuah pepatah jawa berujar urip iki mung mampir
ngombe. Hidup hanyalah persinggahan untuk minum. Untuk bertamu. Untuk
berkunjung. Jika demikian, apa yang dihampiri dan dikunjungi para pemudik?
Kenangan. Pemudik mengunjungi rekam dirinya semasa kanak-kanak, semasa remaja,
semasa wajah orang tuanya lebih muda, semasa rumahnya masih sederhana, semasa
dirinya masih mengenakan celana pendek, kaos kusam, dan telanjang kaki bermain
bola sepak di halaman tanah yang kosong, serta mungkin saudara dan teman yang wajahnya
menjadi lebih muda daripada di foto profilnya di sekian banyak media sosial.
Kemanapun mereka berkunjung dan mampir, mereka mengunjungi sebuah rekam
kenangan atapun mencipta rekam kenangan yang baru.
Di desa mapun di kota. Tradisi berkunjung adalah
hal yang biasa. Bukan hal yang aneh jika seorang teman mengunjungi saya, atau
mungkin saya berkunjung ke rumah anda. Dimanapun tempat saya, baik di desa
mapun di kota. Maka, kemanapun seseorang berkunjung, ia sedang mudik dan
meng-udik. Ia sedang mengunjungi sifat baik-buruk dirinya dan yang
dikunjunginya.
Lebaran, adalah sebuah perayaan yang merayakan
ke-udikan manusia. Merayakan keberadaan tak-sempurnanya manusia. Fitrah, bagi
saya bukanlah kekosongan, bukanlah kondisi suci seperti yang diiklankan banyak
produk makanan dan kosmetik, namun dua ruang yang sedari awal sudah memiliki
nama: “baik” dan “buruk”. Suci adalah ke-udikan itu sendiri. Suci bukanlah
hanya bersih, ia juga kotor. Karena ketika mengasosiasikan kata “suci” dengan
“manusia” maka selayaknyalah dua hal yang berlawanan tersebut sebagai
interpretasi maknanya. Kembali ke udik atau ke fitrah adalah sebuah usaha
kontemplasi untuk mengakui diri bukanlah sebuah cipta tuhan yang sempurna.
Untuk mengakui kelemahan yang selama ini ditutupi dengan sekian macam bentuk
kelebihan. Untuk mengakui kelemahan tersebut dibutuhkan usaha yang tak jarang
harus betaruh nyawa. Jika anda tidak percaya, silahkan hitung jumlah pemudik
yang meninggal dalam perjalanan mudiknya. Kontemplasi atau perenungan diri adalah
usaha yang memakan biaya yang mahal, termasuk nyawa di dalamya.
Maka, mudik adalah sebuah usaha menuju pemahaman
akan ke-udikan seseorang. Manusia melakukan sekian perjalan dalam hidupnya
hanya untuk memahami dirinya sendiri. Untuk menemukan tujuan dari keberadaanya.
Mudik, adalah tanggung jawab bersama untuk bisa memahami sesama.
Baru satu minggu ini saya berada di rumah. Orang tua saya masih
tetap sering mengomel, kaka
saya masih tetap cerewet, teman-teman saya sudah banyak yang menikah, dan
seorang teman saya masih saja sering meminjam uang ke teman-teman
dekatnya sewaktu kecil
Mau mudik tidak mudik, toh kita tetap meng-udik.
Jadi, apa yang harus diributkan?
No comments:
Post a Comment